Dalam acara hari disabilitas Internasional di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Prabowo berpidato dengan mempersoalkan objektifitas media dalam meliputi reuni 212 di Monas pada 2 Desember 2018. Prabowo mengklaim aksi reuni 212 dihadiri oleh 11 juta peserta. Prabowo menyampaikan kemarahannya karena media mainstream tidak meliput reuni tersebut.
Bukan kali ini saja Prabowo marah-marah ke wartawan. Dalam beberapa kesempatan, Prabowo kerap mempermalukan wartawan dengan menolak mereka secara terang-terangan di depan umum. Wartawan yang langganan dipermalukan misalnya adalah wartawan dari Metro TV, Kompas TV dan CNN. Prabowo beberapa kali menolak diwawancarai oleh media-media ini. Sedangkan wartawan yang menjadi kesayangan Prabowo tentu saja adalah TV One.
Paling tidak ada dua hal yang menjadi sumber kemarahan Prabowo terkait reuni 212. Pertama, aksi reuni kurang diliput. Kedua, wartawan tidak memberitakan aksi tersebut dihadiri oleh 11 juta peserta.
Untuk yang pertama, Prabowo seharusnya bisa paham kenapa wartawan tidak diturunkan dalam meliput aksi 212. Bukankah sudah jelas kalau wartawan takut dipersekusi. Dalam acara aksi 212 tahun-tahun sebelumnya, wartawan dari Metro TV dirisak beramai-ramai oleh peserta aksi 212, bahkan diusir beramai-ramai. Dan kita sudah tau sama tau kalau kehadiran wartawan dari media-media tertentu tidak diinginkan.
Wartawan adalah pekerja yang meliput berdasarkan arahan redaksi yang mengikuti kebijakan pemilik media. Sementara media, selain memiliki tendensi politik tertentu, juga adalah sebuah lembaga ekonomi yang bertindak atas dasar untung-rugi.
Bukan perkara sulit mengutus seorang wartawan sebagai pekerja media untuk meliput berita tertentu. Tapi yang sulit adalah menanggung resiko ketika terjadi sesuatu yang menimpa wartawan tersebut. Kalau wartawan tersebut hanya sekadar dibully ramai-ramai, hanya hati saja yang tersakit. Bagaimana kalau wartawan itu sampai dipersekusi secara fisik? Apalagi sampai mengalami luka atau kehilangan nyawa, tentu yang bertanggung jawab adalah media tersebut.
Proses hukum bisa saja berlangsung kemudian untuk mengadili pihak-pihak yang bersalah. Tapi media juga harus keluar anggaran untuk memberikan santunan kepada wartawan sebagai pekerjanya. Sekali lagi, karena media itu yang menempatkan wartawannya dalam resiko, bahkan dalam situasi yang jelas-jelas berbahaya berdasarkan pengalaman sebelumnya di mana massa 212 membenci wartawan dari media-media tertentu.
Ibarat kita bikin pesta, mengundang semua orang. Ada tamu datang yang tidak kita sukai, lalu kita usir. Setelah kita usir, lantas kita marah-marah karena mereka nggak datang tahun depan. Kan gila!
Soal kedua, Prabowo marah karena media tidak mengakui jumlah peserta reuni 212 mencapai 11 juta orang. Ini lebih gila lagi, media disuruh untuk mengakomodir delusi tingkat dewa. Masih bisa dipahami kalau Prabowo marah karena ada media yang mengecil-ngecilkan jumlah peserta 212 menjadi ribuan saja. Jumlah peserta 212 memang mencapai ratusan ribu, harus diakui. Masih bisa juga dipahami kalau yang membesar-besarkan jumlah peserta reuni adalah kalangan orang biasa yang derajatnya hanya menjadi korban hoax atau pesan-pesan megalomaniak.
Tapi orang sekelas capres yang membesar-besarkan jumlah ratusan ribu menjadi 11 juta tentu adalah sebuah tindakan delusional yang tak bisa ditolerir lagi.