Badan Penyelanggara Jaminan Sosial alias BPJS digadang-gadang menjadi solusi bagi pemenuhan kesehatan rakyat Indonesia. Nyatanya masih banyak kasus penolakan yang terjadi kepada pasien saat berobat di rumah sakit. Mulai dari orang tua, ibu-ibu, sampai bayi ditolak berobat di rumah sakit. Misalnya kasus bayi ditolak dan diterlantarkan oleh rumah sakit.
Banyak memang pasien yang mendaftar BPJS saat dalam keadaan sakit. Tapi, itu, kan, wajar, karena namanya juga produk kebijakan baru. Seharusnya dimengerti sajalah. Eh, tapi pemerintah malah memberlakukan kebijakan aktivasi kartu BPJS setelah 7 hari mendaftar. Kemudian ditambah menjadi 14 hari. Alasannya, banyak pasien berhenti bayar BPJS setelah sembuh. Padahal pemerintah tidak perlu kuatir, karena siapa sih manusia di dunia ini yang hanya sakit sekali seumur hidup. Sangat langka. Seharusnya disosialisasikan baik-baik ke rakyat dengan sabar, apalagi rakyat banyak yang miskin, tidak semua mampu bayar BPJS. Pantas saja ada yang bilang kalau kebijakan 14 hari ini melanggar HAM. Kejem banget, sih.
Iuran BPJS itu ngga murah loh. Oke lah, klas 1 Rp. 25 ribu, klas II Rp 42 ribu dan klas III Rp 59 ribu. Kedengarannya sih murah. Tapi ini per orang, bukan per keluarga. Bayangkan saja, kalau seorang kepala keluarga punya isteri, anak dua. Berarti dia harus bayar untuk 4 orang per bulan. Bayar 100 ribu per bulan itu tidak murah bagi rakyat Indonesia. Hanya di kelas III pula. Diskriminatif sekali.
Haduh, BPJS makin bikin pusing bagi pekerja informal. Yang formal sih enak, punya gaji tetap dan dibayarin tiap bulan sama pengusaha 4 % dari upah dan 1 persen dari upah pekerja. Eh, tapi, BPJS itu ternyata tidak unlimited loh. Ha ha ha, obat-obat tertentu masih bayar. Bahkan, kurang ajarnya, BPJS setempat suka ambil kebijakan sendiri. Belum lagi, kita harus ke unit BPJS setempat sebelum ke rumah sakit.
Pokoknya bikin pusing lah ini BPJS.